Apa, Siapa dan Bagaimana LSM?

Apa bedanya LSM dengan NGO atau Ornop ?

LSM adalah kependekan dari istilah Lembaga Swadaya Masyarakat. LSM merupakan istilah Indonesianya dari NGO (Non Governmental Organization), biasa juga disebut dengan OMS (Organisasi Masyarakat Sipil), atau disebut juga Ornop (Organisasi Non Pemerintah). Jadi sama saja, satu wujud dengan banyak nama.

Jadi, LSM itu apa?

Secara umum, istilah LSM ditujukan kepada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintahan (non-pemerintah) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit) yang akan dibagi-bagikan kepada pendiri atau pengurus-pengurus, seperti yang dikenal dunia perusahaan sebagai deviden atau SHU (Sisa Hasil Usaha) dalam dunia koperasi.

Selain LSM yang berdiri sendiri, dikenal pula dengan apa yang biasa disebut dengan jaringan LSM atau forum LSM, dimana LSM berkumpul bersama untuk mendiskusikan dan memperjuangkan isu-isu bersama. Hal ini banyak dikenal dalam berbagai nama seperti; forum, koalisi, aliansi, konsorsium, asosiaso, jaringan, solidaritas, dan lain-lain.

LSM didirikan jauh lebih daripada sekedar mendirikan organisasi bernama yayasan (atau jenis badan hukum lainnya) untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah atau keuntungan-keuntungan ekonomi lainnya. LSM didirikan dengan tujuan-tujuan yang lebih mulia yaitu perwujudan dari semangat philantropi (philantropist) yaitu  “mencintai (sesama) umat manusia, dengan memberikan bantuan kepada yang membutuhkan”, dan altruisme (altruism) yaitu “menaruh perhatian dan kepedulianterhadap orang lain atau kemanusiaan”.

Di lapangan, banyak sekali organisasi dan lembaga-lembaga. Mana diantara semuanya itu yang terkategorikan LSM ?

Terlepas dari nilai-nilai ideal yang terkejewantahkan dalam pilihan orientasi visi dan misi, serta ragam kegiatannya, sekurangnya ada empat karakter dasar sebagai ciri sosok LSM yang disepakati secara umum[1].

Pertama, LSM itu lembaga non pemerintah, yang secara jelas membedakannya dari birokrasi. LSM didirikan secara hukum tidak mempunyai kaitan dengan organisasi negara atau pemerintahan.

Kedua, LSM didirikan dan dijalankan berdasarkan azas kesukarelaan (voluntary). LSM didirikan dengan mengandung unsur-unsur kesukarelaan. Misalnya ada sejumlah orang (apakah itu sekelompok banyak atau sekelompok kecil orang) yang mendirikan LSM dengan menyediakan waktunya secara sukarela (tanpa dibayar) untuk kepentingan organisasi tersebut. Kendati demikian, LSM dapat saja memiliki pegawai (eksekutif, staf program, staf pendukung, dan lainnya) yang dibayar dalam bentuk gaji/benefit/kompensasi lainnya atas tugas-tugas mereka. Tetapi tetap ada sejumlah orang yang menjadi pendiri atau pengurus (board of directors) yang tidak menerima gaji, melainkan hanya sekedar penggantian atas pengeluaran-pengeluaran yang mereka lakukan dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka.

Ketiga, LSM menjalankan kegiatannya tidak untuk tujuan membagikan keuntungan (nirlaba), yang membedakannya dengan lembaga usaha. LSM tidak didirikan untuk mencari profit yang dibagi-bagikan bagi pendiri-pendiri atau pengurus-pengurusnya.

Keempat, LSM dimaksudkan sebagai lembaga yang melayani masyarakat umum, bukan anggota atau para aktivisnya sendiri, sebagaimana dilakukan oleh koperasi atau asosiasi profesi. LSM didirikan untuk melayani kepentingan masyarakat, kaum miskin, kaum dhuafa, kaum yang tersingkirkan, kaum yang terlanggar hak-haknya sebagai warga masyarakat yang tidak mampu mengembangkan potensi yang ada pada dirinya atau menggapai hak-haknya secara penuh melalui tindakan-tindakan langsung atau tidak langsung. LSM juga menyuarakan kepeduliannya terhadap berbagai kebijakan dan tindakan pemerintah yang merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Kalau begitu, saya menyimpulkan bahwa LSM dapatlah ditempatkan sebagai  “sektor ketiga” dalam tiga sektor model kehidupan manusia modern, yaitu sektor negara (state), pasar (market) dan masyarakat sipil (civil society).

Saya setuju. Tentang bagaimana hubungan ketiganya, dapat digambarkan dalam gambar di bawah.

Btw, sedangkan menurut sejarah perkembangannya, kegiatan-kegiatan LSM dapat dibagi atas;

Pertama; LSM-LSM yang terlibat di dalam kegiatan-kegiatan amal sosial (charity), memberikan bantuan dan pertolongan kepada kaum miskin, mereka yang menderita karena berbagai bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung meletus), perang dan sebagainya dengan memberikan keselamatan, dana dan material (bahan makanan, pakaian, obat-obatan) dan sebagainya. Inilah bentuk kegiatan LSM yang tertua. LSM-LSM yang bergerak dalam kegiatan ini banyak dikenal sebagai organisasi sosial dan sosial keagamaan dan organisasi-organisasi yang bergerak dalam kesejahteraan sosial.

Kedua; LSM-LSM yang bergerak dalam kegiatan-kegiatan yang berorientasi kepada perubahan, perkembangan/pembangunan masyarakat (change and development) atau yang bergerak dalam pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (community development, community empowernment). Berbeda dengan LSM karikatif, LSM-LSM ini bekerja untuk dan bersama masyarakat dalam satu periode waktu yang lebih panjang dengan maksud membantu masyarakat dalam menolong dirinya sendiri (helping people to help themselves). LSM-LSM ini memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam berbagai bidang atau sektor seperti air bersih dan sanitasi, teknologi tepat guna, kesehatan dan pendidikan, perkoperasian dan usaha bersama, usaha kecil dan kredit mikro, perumahan rakyat, pengembangan lingkungan hidup dan sumber daya alam, sektor informal, dan sebagainya. Di samping memberikan pelayanan, LSM ini juga memberikan pencerahan, penyadaran dan pelatihan, untuk membawa perubahan-perubahan dalam masyarakat. LSM-LSM ini dikenal dengan sebutan ‘LSM Pembangunan’ atau ‘LSM developmentalis’ (development NGO).

Ketiga; Karena kemiskinan, kesengsaraan, penderitaan yang dialami masyarakat tidak selalu bersumber dari dalam dirinya sendiri, tetapi bisa juga disebabkan oleh sesuatu yang dipaksakan dari luar, maka dalam perkembangan selanjutnya LSM-LSM tidak hanya bergerak dalam pelayanan masyarakat tetapi kemudian melakukan pembelaan (advokasi) terhadap kekuasaan dan pemerintah. Misalnya pembelaan terhadap pencemaran lingkungan hidup, kerusakan hutan, perlindungan hak azazi manusia (HAM), ketimpangan gender, diskriminasi rasial, dampak globalisasi dan ekonomi pasar bebas, hutang luar negeri, korupsi, kolusi dan nepotisme serta penyalahgunaan kekuasaan lainnya sampai kepada penegakkan demokrasi, LSM-LSM ini dikenal dengan sebutan ‘LSM advokasi’ (advokacy NGO).

Di lapangan saya menemukan ada LSM yang kegiatannya terdiri dari dua bahkan lebih dari kategori kegiatan-kegiatan di atas.

Pastinya, pengklasifikasian kegiatan LSM seperti di atas bukanlah sesuatu yang ketat. Itu hanya pengklasifikasian berdasarkan sejarah perkembangan LSM di Indonesia. Lagipula, dalam perkembangannya, LSM-LSM pembangunan, dalam kegiatannya ada juga yang tetap melakukan kegiatan yang bersifat karikatif juga terlibat dalam kegiatan advokasi.

So, bagaimanakah peran dan fungsi LSM berdasarkan peran dan fungsinya terhadap pemberantasan kemiskinan dan keterbelakangan?

Berdasarkan peran dan fungsi LSM terhadap pemberantasan kemiskinan dan keterbelakangan, setidaknya telah terklasifikasi ke dalam empat spektrum pendekatan, yaitu :

Pertama, Pendekatan kesejahteraan (welfare), yaitu memberikan pelayanan kepada kelompok-kelompok yang berpendapatan rendah, golongan lemah atau rakyat kecil. Kedua, Pendekatan pembangunan (developmentalis), dimana tekanan programnya adalah dukungan proyek-proyek untuk meningkatkan produktivitas dan kemandirian kaum miskin, sebagai upaya mengatasi keterbelakangan ekonomi, politik dan kultural. Ketiga, Pendekatan pemberdayaan (empowerment), yaitu pendekatan yang melihat kemiskinan sebagai suatu proses politik. Keempat, Pendekatan transformatif, yaitu pendekatan yang berorientasi pada transformasi sosial secara mendasar melalui aksi pendampingan, pemberdayaan dan advokasi sebagai langkah efektif bagi penyadaran rakyat dan mengapresiasikannya sebagai kekuatan kolektif bagi perubahan melalui pengorganisasian masyarakat yang adil, demokratis dan beradab.

Menurut saya, realita sekarang trend LSM yang dikelola para da’i kebanyakan berkutat di sektor  welfare dengan fokus kegiatan charity saja.

Iya juga sih. Tapi sebetulnya, sudah ada para da’i yang LSM nya bergerak di tiga sektor lainnya (developmentalism, empowerment, transformatif) namun tampaknya memang masih sangat jarang. Padahal ada kondisi masyarakat tertentu, yang justru akan kontraproduktif jika dilakukan pendekatan welfare terhadap mereka. Bukannya menyelesaikan masalah, malah akan menambah masalah. Karena, untuk kondisi masyarakat tertentu, kegiatan welfare/charity malah akan mendidik mereka menjadi pribadi yang konsumtif, pemalas dan terlena dengan posisinya sebagai objek pembangunan semata.  []

***selesai sesi tiga, berlanjut ke sesi empat***


[1] Zaim Saidi dalam ‘Lima Persoalan Mendasar dan Akuntabilitas LSM’ dalam buku Kode Etik dalam Buku Kritik dan Otokritik LSM, PIRAC-TIFA-FordFoundation, Jakarta 2004